Senin, 31 Januari 2011

Dilema seorang calon hafizhah . . .

Kubuka al-Quran miniku untuk keempat kalinya hari ini. Saat kutadaburi maknanya per kata dalam Q.S. Fushilat:44

… Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.”

“Lilladziina aamanuu: bagi orang2 mukmin… hudan: petunjuk… wa syifaa’: dan penawar / obat… ” berkali-kali kuucapkan penggalan itu. Tiba-tiba air mataku mengalir, entah mengapa. Semua kegelisahan memang sirna, semua pertanyaan fundamental hampir selalu terjawab, tapi layakkah aku dikatakan sebenar-benar mukmin, sedangkan amalku pun masih menghalangiku dalam menghapal kitab suciku ini?? Ya, belakangan ini aku sangat sulit menghapal. Bukan karena sibuk dan tak ada waktu, melainkan karena… karena… karena apa??

Ah, seorang Umar bin Khatthab menghapal al-Baqoroh selama 2 tahun, tapi kasusnya berbeda. Bukan sepertiku yang begitu sulit karena banyaknya penyakit hati, melainkan karena beliau menghapal setelah mengamalkannya. Ya Rabb, berhakkah aku…? Berhakkah aku…? Namun, aku mengharapkan kemuliaan para pemelihara al-Quran di dunia dan akhirat. Aku pun ingin memberikan kemuliaan kepada kedua orang tuaku di akhirat, sesuatu yang tidak bisa kuberikan di dunia.

Setelah itu, kubaca kalimat berikutnya masih pada ayat yang sama… dan air mata ini kembali mengalir: semakin deras. Apakah derajat pemelihara al-Quran itu cukup dengan membaca? Atau hanya menghapal? Ya Rabb, jangan Kau sumbat telingaku dan butakan penglihatanku dalam memahami ayat-ayatMu… kemudian buatlah aku beramal dengannya dan mengajarkan ilmu darinya… dari kalamMu, Wahai Yang Maha Tinggi.

Dekatkan aku dengan al-Quran; jangan Kau panggil aku dari tempat yang jauh. Perlihatkan, perdengarkan, dan biarkan hati ini, lisan ini, amal ini cenderung kepadanya. Jadikan ia bacaan yang membuatku candu dan tak bosan untuk terus mengulangnya. Perkenankanku mencintainya dari segala bacaan yang pernah kubaca apalagi dari sekedar tulisanku sendiri. Al-Quranku, al-QuranMu Rabbi, surat cinta dariMu untuk kami… ah, bisakah aku menjadi salah seorang di antara hafizhahnya (pemeliharanya)??

Di tengah keraguan itu pun jiwaku berbisik, “Maukah kamu menanggung dosa jika kembali melupakannya padahal hapalan itu sangat mudah terlepas?” Aku menggigil. Hatiku takut. Nyaliku ciut. Tidak berkumpul dalam satu dada cinta kepada al-Quran dan cinta kepada maksiyat, tidak mungkin berkumpul… tidak mungkin… Rabbi, berhakkah aku menjadi salah seorang hafizhah? Atau lebih baik aku mundur?

“Tidak! Kamu sudah tahu keutamaannya, tetapi kamu enggan maju menjadi hafizhah karena kamu mencintai maksiyat?” tanya sisi lain dalam jiwaku.

“Bukan mencintai maksiyat! Aku hanya takut tak bisa menjaganya… aku takut al-Quran menuntutku kelak di hadapanNya,” jerit sisi lemahku melawan.

“Di sisi lain kamu lupa bahwa al-Quran akan menjadi pembela orang-orang yang sibuk dengannya saat tak lagi ada yang bisa membela selain yang Allah kehendaki!”

Aku tergugu. Suara perang dalam diri yang dari tadi berkecamuk tiba-tiba mereda. Namun, tangisan yang sedari tadi ditahan tiba-tiba harus pecah. Siapakah yang bisa menjamin kita akan tetap mencintai al-Quran? Meskipun saat ini jujur hatiku sangat mencintainya, siapa yang bisa menjamin cinta ini akan tetap istiqomah bersarang di sana? Siapa?? ALLAH! Hanya Dia! Akhirnya kuputuskan untuk memantapkan hati menjadi seorang pecinta al-Quran. Hatiku hanya membisikkan doa agar cinta ini tetap kekal dan membawa kebaikan hingga ke surga, “Rabbi, tsabbit qalbi ‘ala diniK, tsabbit qalbi ‘ala tha’atiK, tsabbit qalbi ‘ala mahabbatiK…”

Jangan jadi pesimis, Jiwa, saat masih ada peluang untuk optimis dalam kasus apapun! Bahkan untuk kasus ukhrawi… Jangan lekas menyerah, karena itulah watak seorang mukmin… Ingatlah ga ada miftahun najah (kunci kesuksesan), melainkan pada tiga hal: ikhtiyar (terus berusaha optimal) + doa (agar tetap istiqomah) + tawakkal (menyerahkan urusan ini kepada Allah)

disarikan dari :
http://chie135.wordpress.com/2011/01/10/dilema-seorang-hafizhah/
Demi waktu, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih; saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran (Q.S. Al-'Ashr)

Tidak ada komentar:

Ya ALLAH . . .berilah aku sebuah hati yang sungguh mencintai-MU, sehingga aku dapat mencintainya dengan cinta-MU, bukan mencintainya sekedar cintaku . . .